MITOS Seputar Ari-ari, SEKADAR TRADISI?


Lain ladang lain belalang. Begitu pula tradisi memperlakukan si ari-ari.

Dalam budaya beberapa suku di tanah air, ari-ari atau istilah medisnya disebut plasenta, dipercaya sebagai “saudara kembar” atau “adik” dari bayi yang baru dilahirkan. Tak heran kalau kalangan masyarakat tertentu memperlakukannya secara khusus sesuai adat istiadat mereka.

SIMBOL PENGHARAPAN

Kristina, yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, mengaku tidak sepenuhnya meyakini ari-ari merupakan “saudara kembar” si bayi. Ibu 2 anak yang bekerja di sebuah rumah produksi ini mengaku sekadar mengikuti tradisi. “Saya melahirkan di Jakarta tanpa didampingi orangtua. Kalaupun masih menerapkan adat, sebetulnya bukan karena percaya, melainkan hanya mengikuti tradisi.”

Meski saat itu tak ada kerabat dekat yang mengurusi, ia merasa beruntung. Klinik bersalin tempatnya melahirkan menyediakan perlengkapan untuk penguburan ari-ari tersebut. Bahkan klinik bersalin telah membersihkan ari-ari tersebut dan memasukkannya ke dalam kendil. Pihak keluarga tinggal membawa pulang dan menguburkannya di rumah.

Kristina hanya menambahkan beberapa barang sebagai lambang pengharapan. Seperti benang dan jarum ke dalam kendil ari-ari anak perempuannya. Baginya, semua benda tadi tak lebih dari sekadar simbol atau lambang pengharapan orangtua pada anaknya.

Kepercayaan serupa juga dianut masyarakat Batak. Sarnaise Saragih yang tinggal di Medan percaya kalau ari-ari memang saudara kembar si bayi. Saat dikuburkan, ari-ari akan dimasukkan ke dalam bakul anyaman dari pandan. “Sayangnya belakangan bakul anyaman semacam ini sulit didapat. Makanya banyak orang yang langsung membungkusnya menggunakan kain sebelum menguburkannya. Atau dimasukkan ke dalam gerabah dari tanah liat,” tutur wanita yang bekerja di sebuah bank pemerintah ini. Bedanya dengan suku Jawa, masyarakat Batak tidak menambahkan aneka barang sebagai simbol pengharapan.

Tradisi yang tidak jauh berbeda juga dilakoni Sumarni yang bermukim di Palembang. Umumnya ari-ari dikubur setelah dibersihkan dan diberi aneka barang sebagai lambang pengharapan orangtua si bayi. “Kalau anak perempuan biasanya ada bumbu dapur, maksudnya biar pandai masak. Sedangkan anak laki-laki biasanya disertai alat tulis dengan harapan agar kelak menjadi anak pandai. Saat ini banyak orang beralih menggu-nakan panci untuk wadah sebagai pengganti bakul,” ucap wanita yang berprofesi sebagai guru ini.

DI BAWAH POHON KELAPA

Penguburan itu sendiri secara umum menyiratkan pengharapan. Masyarakat Jawa umumnya mengubur ari-ari di pekarangan rumah sebelah kanan dengan diterangi cahaya lampu yang mesti dijaga supaya tidak mati selama 40 hari.

Sedangkan suku Bone di Sulawesi Selatan meyakini ari-ari harus dikubur di bawah pohon kelapa. Si bayi kelak diharapkan tumbuh memiliki martabat tinggi sekaligus memberi banyak manfaat bagi masyarakat. Bahkan tak sedikit yang menyimpan potongan ari-ari anaknya kemudian dibungkus menyerupai bantal kecil sebesar jempol. Bungkusan mungil ini diselipkan di pinggang sebagai pelindung bala/marabahaya.

Sedangkan dalam masyarakat Palembang ada anggapan ari-ari sebaiknya ditanam di masjid agar si anak kelak rajin ke masjid. Menurut Sumarni, anjuran ini sudah terbukti: ketiga anaknya rajin ke masjid. Beda lagi dengan masyarakat Padang yang meyakini kalau ari-ari sebaiknya dilarung/dihanyutkan ke sungai yang airnya deras. Dengan harapan kelak si anak tak takut pergi merantau sesuai budaya Padang.

Nida Taher, ibu rumah tangga yang berasal dari suku Padang (meski dibesarkan dan dilahirkan di ibu kota), orang-tuanya masih mempercayai tradisi itu. “Ibu saya punya 6 anak. Satu di antara ari-ari mereka dibuang ke Kali Malang, sedangkan ari-ari 5 anak lainnya ditanam di pekarangan rumah. Ternyata bener tuh, adik saya yang ari-arinya dibuang ke kali lebih tahan merantau dan pemberani. Sampai sekarang, ia betah kerja dan tinggal di Australia. Sementara 5 bersaudara lainnya lebih senang tinggal di dekat-dekat ibu.”

Nida sendiri saat melahirkan kedua anaknya tidak terlalu mempermasalahkan soal ari-ari. Rumah sakit tempatnya melahirkan menawarkan diri untuk membersihkan dan menguburkan ari-ari seperti umumnya kebanyakan orang. Sementara Nida juga lupa untuk menanyakan ari-ari tersebut dikubur di mana. Toh, sejauh ini kedua anaknya juga tidak mengalami apa-apa.

ANEKA FUNGSI

Pendapat serupa dilontarkan Tien Santosa yang kerap dipercaya sebagai pemandu adat oleh para orangtua yang ingin menyelenggarakan upacara bayi baru lahir. Menurutnya, tidak ada keharusan untuk melaksanakan adat-istiadat tersebut. “Itu hanya tradisi yang memang dilaksanakan orang-orang dulu. Sekarang, informasi semakin berkembang. Setiap orang bebas menentukan pilihan, apakah ingin melaksanakannya atau tidak, boleh-boleh saja. Semua itu tergantung pada keyakinan masing-masing,” tukas dosen di Universitas Negeri Jakarta ini.

Bagaimana dengan anggapan bahwa ari-ari merupakan saudara kembar si bayi? Boleh jadi karena setiap kelahiran bayi selalu dibarengi dengan keluarnya ari-ari. Bahkan sepanjang masa kehamilan, ari-ari memang selalu “mendampingi” janin mengingat fungsinya yang amat vital. Ari-ari berperan sebagai alat respiratorik, metabolik, nutrisi, endokrin, penyimpanan, transportasi dan pengeluaran dari tubuh.

Jika salah satu atau beberapa fungsi vital tersebut terganggu, maka janin ibarat “tercekik” yang membuat pertumbuhannya terganggu. Demikian juga bila ditemukan kelainan pada pertumbuhan plasenta. Baik berupa kelainan bawaan ataupun kelainan akibat pengaruh lingkungan. Hingga rasanya memang tidak berlebihan bila dikatakan ari-ari merupakan “pendamping” janin.

Utami Sri Rahayu. Ilustrator Pugoeh

(diambil dari sini) 

1 thoughts on “MITOS Seputar Ari-ari, SEKADAR TRADISI?

  1. Ping-balik: Menanam Ari-Ari dan Tagihan Internet yang Mahal « Story from a fish

Tinggalkan komentar